Antara wahabi dan syiah
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
wahabi - syiah |
ANTARA SYIAH ( Syi'ah ) DAN WAHABI ( Salafi Takfiri )
Pada kenyataannya yang kita dapat lihat adalah perseteruan antara
firqoh (sekte) Wahabi dan firqoh (sekte) Syiah dan yang terkena getahnya
adalah mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) yakni kaum muslim
yang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan cara
mengikuti para ulama yang sholeh yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah
dari salah satu dari Imam Mazhab yang empat.
Habib Muhammad Rizieq Syihab menyampaikan bahwa sekte (firqoh) syiah maupun wahabi masing-masing terbagi kedalam 3 bagian
****** awal kutipan *****
SYIAH
Pertama, SYI’AH GHULAT yaitu Syi’ah yang menuhankan/menabikan Ali ibn
Abi Thalib RA atau meyakini Al-Qur’an sudah di-TAHRIF
(dirubah/ditambah/dikurangi), dan sebagainya dari berbagai keyakinan
yang sudah menyimpang dari USHULUDDIN yang disepakati semua MADZHAB
ISLAM. Syi’ah golongan ini adalah KAFIR dan wajib diperangi.
Kedua, SYI’AH RAFIDHOH yaitu Syi’ah yang tidak berkeyakinan seperti
Ghulat, tapi melakukan penghinaan/penistaan/pelecehan secara terbuka
baik lisan atau pun tulisan terhadap para Sahabat Nabi SAW seperti Abu
Bakar RA dan Umar RA atau terhadap para isteri Nabi SAW seperti ‘Aisyah
RA dan Hafshah RA. Syi’ah golongan ini SESAT, wajib dilawan dan
diluruskan.
Ketiga, SYI’AH MU’TADILAH yaitu Syi’ah yang tidak
berkeyakinan Ghulat dan tidak bersikap Rafidhah, mereka hanya
mengutamakan Ali RA di atas sahabat yang lain, dan lebih mengedapankan
riwayat Ahlul Bait daripada riwayat yang lain, secara ZHOHIR mereka
tetap menghormati para sahabat Nabi SAW, sedang BATHIN nya hanya Allah
SWT Yang Maha Tahu, hanya saja mereka tidak segan-segan mengajukan
kritik terhadap sejumlah sahabat secara ilmiah dan elegan. Syi’ah
golongan inilah yang disebut oleh Prof. DR. Muhammad Sa’id Al-Buthi,
Prof. DR. Yusuf Qardhawi, Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili, Mufti Mesir
Syeikh Ali Jum’ah dan lainnya, sebagai salah satu Madzhab Islam yang
diakui dan mesti dihormati. Syi’ah golongan ketiga ini mesti dihadapi
dengan DA’WAH dan DIALOG bukan dimusuhi.
WAHABI
Pertama, WAHABI TAKFIRI yaitu Wahabi yang mengkafirkan semua muslim yang
tidak sepaham dengan mereka, juga menghalalkan darah sesama muslim,
lalu bersikap MUJASSIM yaitu mensifatkan Allah SWT dengan sifat-sifat
makhluq, dan sebagainya dari berbagai keyakinan yang sudah menyimpang
dari USHULUDDIN yang disepakati semua MADZHAB ISLAM. Wahabi golongan ini
KAFIR dan wajib diperangi.
Kedua, WAHABI KHAWARIJ yaitu yang
tidak berkeyakinan seperti Takfiri, tapi melakukan
penghinaan/penistaan/pelecehan secara terbuka baik lisan mau pun tulisan
terhadap para Ahlul Bait Nabi SAW seperti Ali RA, Fathimah RA, Al-Hasan
RA dan Al-Husein RA mau pun ‘Itrah/Dzuriyahnya. Wahabi golongan ini
SESAT sehingga mesti dilawan dan diluruskan.
Ketiga, WAHABI
MU’TADIL yaitu mereka yang tidak berkeyakinan Takfiri dan tidak bersikap
Khawarij, maka mereka termasuk MADZHAB ISLAM yang wajib dihormati dan
dihargai serta disikapi dengan DA’WAH dan DIALOG dalam suasana
persaudaraan Islam.
***** akhir kutipan *****
Habib Munzir dalam tulisannya pada http://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid&func=view&catid=9&id=27095
menyampaikan bahwa “Syiah adalah muslim selama mengakui syahadat, namun
siapapun yang mengkafirkan Sahabat atau orang muslim, maka ia kufir,
apakah ia Syiah atau bukan Syiah
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam telah bersabda janganlah memvonis kafir atau mengeluarkan dari
Islam akibat perbuatan dosa apalagi hanya karena perbedaan pemahaman
atau pendapat
Dari Anas radhiyallahuanhu, Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda : “Tiga hal merupakan pokok iman ;
menahan diri dari orang yang menyatakan Tiada Tuhan kecuali Allah. Tidak
memvonis kafir akibat dosa dan tidak mengeluarkannya dari agama Islam
akibat perbuatan dosa ; Jihad berlangsung terus semenjak Allah
mengutusku sampai akhir ummatku memerangi Dajjal. Jihad tidak bisa
dihapus oleh kelaliman orang yang lalim dan keadilan orang yang adil ;
dan meyakini kebenaran takdir”.
Imam Abu Abdillah Al-Qurthubi
rahimahullah (wafat 671 H) berkata : “Adapun seorang muslim dia tidak
dikafirkan walaupun melakukan dosa besar.
Majalah dakwah Islam
“Cahaya Nabawiy” Edisi no 101, Januari 2012 memuat topik utama berjudul
“SYIAH-WAHABI: Dua seteru abadi” , Berikut sedikit kutipannya,
***** awal kutipan ****
“Sebenarnya ada fakta lain yang luput dari pemberitaan media dalam tragedi itu.
Peristiwa itu bermula dari tertangkapnya mata-mata utusan Darul Hadits
oleh orang-orang suku Hutsi yang menganut Syiah. Selama beberapa lama
Darul Hadits memang mengirim mata-mata untuk mengamati kesaharian warga
Syiah. Suku Hutsi merasa kehormatan mereka terusik dengan keberadaan
mata-mata ini.
Kehormatan adalah masalah besar bagi suku-suku
di Jazirah Arab. Tak ayal, suku Hutsi pun menyerbu Darul Hadits sebagai
ungkapan amarah mereka.
Selama beberapa hari Darul Hadits dikepung orang-orang Hutsi yang kebanyakan tergabung dalam milisi pemberontak
Dua warga Indonesia tewas dalam baku tembak, sementara yang lainnya
bersembunyi di kampus. Anehnya, meskipun beberapa kali dibujuk , para
mahasiswa tetap tak mau dievakuasi pihak kedutaan. Mereka berdalih bahwa
diri mereka sedang berjihad melawan musuh. Doktrin yang ditanamkan
kepada mahasiswa Darul Hadits cukup, sangar yakni, “Jihad terhadap syiah
rafidah al-Houtsi”
***** akhir kutipan *****
Ironis sekali , kedua sekte masing-masing merasa berjihad dan memerangi sesama manusia yang telah bersyahadat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya lagi: ‘Apakah kamu
yang telah membunuhnya? ‘ Dia menjawabnya, ‘Ya.’ Beliau bertanya lagi:
‘Lalu apa yang hendak kamu perbuat dengan kalimat, ‘Tidak ada tuhan
(yang berhak disembah) kecuali Allah’, jika di hari kiamat kelak ia
datang (untuk minta pertanggung jawaban) pada hari kiamat nanti? ‘ (HR
Muslim 142)
Diriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Demi Allah, kalian tidak akan
masuk surga hingga kalian beriman. Belum sempurna keimanan kalian hingga
kalian saling mencintai.” (HR Muslim)
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Kamu akan melihat orang-orang mukmin dalam
hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh.
Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya
akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR Bukhari
5552) (HR Muslim 4685)
Dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/06/25/akibat-mencela/ telah disampaikan bahwa akibat mencela Sahabat Nabi atau mencela kaum muslim lainnya adalah sama saja.
Dari Abu Sa’id Al Khudriy Radhiyallahu’anhu beliau berkata: Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam telah bersabda: ‘Janganlah kalian mencela
para sahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian berinfaq emas
seperti gunung uhud tidak akan menyamai satu mud (infaq) salah seorang
dari mereka dan tidak pula setengahnya. (HR. Bukhari dan Muslim dan
Lainnya)
Asbabul wurud :
Ucapan ini ditujukan kepada
sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan dalil sebab adanya
hadits ini adalah kisah yang disebutkan dalam hadits ini, yaitu
perkataan Abu Sa’id : “Antara Khalid bin Al Walid dan Abdurrahman bin
‘Auf terjadi perseteruan, lalu Khalid mencelanya”
Jadi orang
yang mencontohkan kesalahan mencela Sahabat Nabi adalah Sahabat Nabi
juga yakni Khalid bin Al Walid mencela Abdurrahman bin ‘Auf. Namun
kesalahan yang dilakukan para Sahabat Nabi dikoreksi langsung oleh
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sehingga para Sahabat Nabi
mempunyai kesempatan memperbaiki kesalahannya ketika masih di dunia.
Berikut contoh kesalahan lainnya yang dilakukan oleh Sahabat Nabi.
Sahabat Abu Dzar pernah memanggil Bilal, “Hai si hitam.” Rasul pun
mendengar dan berkata, “Hai, apakah orang putih itu lebih mulia dari
mereka yang hitam. Tidak, tidak ada keutamaan dalam diri seseorang
kecuali taqwa.” Lantas Abu Dzar sadar dan berkata pada Bilal, “Aku telah
mengolokmu dan aku mengaku salah.” “Aku telah memaafkanmu,” kata Bilal.
“Tidak, belum, ini wajahku kutaruh di tanah dan injaklah hingga keluar
virus kesombongan dariku,” kata Abu Dzar. “Aku telah mengampunimu,” kata
Bilal. “Tidak demi Allah hatiku takkan tenang hingga kau menaruh kaki
di wajahku ini, hingga penyakit ini hilang,” kata Abu Dzar.
Begitulah Rasululullah mengkoreksi dan mendidik umat la ilaha illallah
agar saling menghormati, toleran, tidak menyakiti dan sikap inilah yang
mesti kita implementasikan ketika bertemu dengan sesama umat la ilaha
Illallah, dari sekte apapun atau bagaimanapun kesalahpahaman mereka
dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah.
Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam, “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu
dan apa yang aku larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “mencela seorang muslim
adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran”. (HR Muslim).
Orang yang fasik adalah orang yang secara sadar melanggar larangan
Rasulullah atau larangan agama sebagaimana firmanNya yang artinya,
“(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian
itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka)
untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah
orang-orang yang rugi.” (QS Al Baqarah [2]:27)
Bagi orang-orang yang fasik, tempat mereka adalah neraka jahannam
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan adapun orang-orang yang fasik maka tempat mereka adalah jahannam” (QS Sajdah [32]:20)
Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/16/perdamaian-islam/
bahwa mewujudkan perdamaian dunia Islam atau mewujudkan Ukhuwah
Islamiyah dengan mentaati perintah Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bahwa solusi jika kita berlainan pendapat tentang sesuatu maka
kita sebaiknya mengikuti mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) dan
menghindari semua sekte atau firqoh yang menyempal keluar (kharaja) dari
mayoritas kaum muslim
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan.
Dan tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan
(menyempal), maka ia menyeleweng (menyempal) ke neraka“. (HR. Tirmidzi:
2168).
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari
XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan:
“Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham
(mayoritas kaum muslim)“
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada
kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan
maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas kaum muslim).” (HR.Ibnu
Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut
Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih).
Pada masa sekarang mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) adalah
bagi siapa saja yang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
dengan mengikuti para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang
empat.
Sebagaimanapula yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/18/islam-adalah-satu/
bahwa Islam adalah satu pada masa sekarang adalah Islam sebagaimana
yang telah disampaikan dan dijelaskan oleh para penunjuk yakni para
ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Allah
Azza wa Jalla telah berfirman bahwa solusi jika kita berselisih karena
berlainan pendapat tentang sesuatu maka ikuti dan taatilah ulil amri
setempat yakni para fuqaha yang faqih dalam memahami Al Qur’an dan As
Sunnah
Firman Allah ta’ala yang artinya “Hai orang-orang yang
beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS An Nisaa [4]:59)
Siapakah ulil amri yang harus ditaati oleh kaum muslim ?
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah sosok ulama dan umara
sekaligus. Begitu juga para khulafaur Rasyidin seperti Sayyidina Abu
Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Ustman dan Sayyidina Ali
radhiyallahuanhum, begitu juga beberapa khalifah dari bani Umayah dan
bani Abbas.
Namun dalam perkembangan sejarah Islam selanjutnya,
sangat jarang kita dapatkan seorang pemimpin negara yang benar-benar
paham terhadap Islam. Dari sini, mulailah terpisah antara ulama dan
umara.
Ibnu Abbas ra sebagaimana yang disebutkan oleh Imam
Thobari dalam tafsirnya telah menyampaikan bahwa ulil amri yang ditaati
adalah para pakar fiqih atau para ulama yang menguasai hukum-hukum
Allah.
Syarat-syarat atau kompentensi sehingga termasuk ulama
yang menguasai fiqih (hukum-hukum dalam Islam) adalah sebagaimana yang
disampaikan oleh KH. Muhammad Nuh Addawami sebagai berikut,
*****awal kutipan *****
a. Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya, karena
al-quran dan as-sunnah diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan
balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung
hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainya bukan
hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa
arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
b. Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak,
bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan
as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan
as-Sunnah itu yang beraneka ragam yang masing-masing mempengaruhi
hukum-hukum yang terkandung di dalamnya seperti ada lafadz nash, ada
lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal,
ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada
majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan
mansukh dan lain sebagainya.
c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-masalah yaqiniyah qath’iyah.
d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab
an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad,
baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan
yang lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.
e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.
Bagi yang tidak memiliki kemampuan, syarat dan sarana untuk menggali
hukum-hukum dari al-Quran dan as-Sunnah dalam masalah-masalah
ijtihadiyah padahal dia ingin menerima risalah Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam secara utuh dan kaffah, maka tidak ada jalan lain
kecuali taqlid kepada mujtahid yang dapat dipertanggungjawabkan
kemampuannya.
Diantara para mujtahid yang madzhabnya mudawwan adalah empat imam mujtahid, yaitu:
- Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;
- Imam Malik bin Anas;
- Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ; dan
- Imam Ahmad bin Hanbal.
Mengharamkan taqlid dan mewajibkan ijtihad atau ittiba’ dalam arti
mengikuti pendapat orang disertai mengetahui dalil-dalilnya terhadap
orang awam (yang bukan ahli istidlal) adalah fatwa sesat dan menyesatkan
yang akan merusak sendi-sendi kehidupan di dunia ini.
Memajukan dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan tidak
memajukannya. (lihat Hasyiyah ad-Dimyathi ‘ala syarh al- Waraqat hal 23
pada baris ke-12).
Apabila si awam menerima fatwa orang yang
mengemukakan dalilnya maka dia sama saja dengan si awam yang menerima
fatwa orang yang tidak disertai dalil yang dikemukakan. Dalam artian
mereka sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan memerima pendapat orang
tanpa mengetahui dalilnya.
Yang disebut muttabi’ “bukan
muqallid” dalam istilah ushuliyyin adalah seorang ahli istidlal
(mujtahid) yang menerima pendapat orang lain karena dia selaku ahli
istidlal dengan segala kemampuannya mengetahui dalil pendapat orang itu.
Adapun orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu fatwa
dengan mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang
penerima itu bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak
termasuk muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.
Pendek kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam istilah ushuliyyin adalah
ijtihad seorang mujtahid mengikuti ijtihad mujtahid yang lain.
***** akhir kutipan *****
Oleh karenanya setelah masa kehidupan Imam Madzhab yang empat, para
mufti yakni orang yang faqih untuk membuat fatwa selalu merujuk kepada
salah satu dari Imam Madzhab yang empat.
Ustadz Ahmad Sarwat,Lc,.MA dalam tulisan pada http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1357669611&title=adakah-mazhab-salaf.htm mengatakan
***** awal kutipan ****
Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Ibnu Hazm, kalau dilihat angka tahun
lahirnya, mereka juga bukan orang salaf, karena mereka hidup jauh
ratusan tahun setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam wafat.
Apalagi Syeikh Bin Baz, Utsaimin dan Al-Albani, mereka bahkan lebih
bukan salaf lagi, tetapi malahan orang-orang khalaf yang hidup sezaman
dengan kita.
Sayangnya, Ibnu Taymiyah, Ibnul Qayyim, apalagi
Bin Baz, Utsaimin termasuk Al-Albani, tak satu pun dari mereka yang
punya manhaj, kalau yang kita maksud dengan manhaj itu adalah arti
sistem dan metodologi istimbath hukum yang baku. Bahasa mudahnya, mereka
tidak pernah menciptakan ilmu ushul fiqih. Jadi mereka cuma bikin
fatwa, tetapi tidak ada kaidah, manhaj atau polanya.
Kalau kita
ibaratkan komputer, mereka memang banyak menulis file word, tetapi
mereka tidak menciptakan sistem operasi. Mereka punya banyak fatwa,
mungkin ribuan, tetapi semua itu levelnya cuma fatwa, bukan manhaj
apalagi mazhab.
Bukan Salaf Tetapi Dzahihiri
Sebenarnya kalau kita perhatikan metodologi istimbath mereka yang
mengaku-ngaku sebagai salaf, sebenarnya metode mereka itu tidak mengacu
kepada masa salaf. Kalau dipikir-pikir, metode istimbah yang mereka
pakai itu lebih cenderung kepada mazhab Dzhahiriyah. Karena kebanyakan
mereka berfatwa hanya dengan menggunakan nash secara Dzhahirnya saja.
Mereka tidak menggunakan metode istimbath hukum yang justru sudah baku,
seperti qiyas, mashlahah mursalah, istihsan, istishhab, mafhum dan
manthuq. Bahkan dalam banyak kasus, mereka tidak pandai tidak mengerti
adanya nash yang sudah dinasakh atau sudah dihapus dengan adanya nash
yang lebih baru turunnya.
Mereka juga kurang pandai dalam
mengambil metode penggabungan dua dalil atau lebih (thariqatul-jam’i)
bila ada dalil-dalil yang sama shahihnya, tetapi secara dzhahir nampak
agak bertentangan. Lalu mereka semata-mata cuma pakai pertimbangan mana
yang derajat keshahihannya menurut mereka lebih tinggi. Kemudian nash
yang sebenarnya shahih, tapi menurut mereka kalah shahih pun dibuang.
Padahal setelah dipelajari lebih dalam, klaim atas keshahihan hadits
itu keliru dan kesalahannya sangat fatal. Cuma apa boleh buat, karena
fatwanya sudah terlanjur keluar, ngotot bahwa hadits itu tidak shahih.
Maka digunakanlah metode menshahihan hadits yang aneh bin ajaib alias
keluar dari pakem para ahli hadits sendiri.
Dari metode kritik
haditsnya saja sudah bermasalah, apalagi dalam mengistimbath hukumnya.
Semua terjadi karena belum apa-apa sudah keluar dari pakem yang sudah
ada. Seharusnya, yang namanya ulama itu, belajar dulu yang banyak
tentang metode kritik hadits, setelah itu belajar ilmu ushul agar
mengeti dan tahu bagaimana cara melakukan istimbath hukum. Lah ini belum
punya ilmu yang mumpuni, lalu kok tiba-tiba bilang semua orang salah,
yang benar cuma saya seorang.
***** akhir kutipan *****
Allah ta’ala berfirman yang artinya “Orang-orang yang terdahulu lagi
yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka
dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya.
Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar“. (QS at Taubah
[9]:100)
Dari firmanNya tersebut dapat kita ketahui bahwa
orang-orang yang diridhoi oleh Allah Azza wa Jalla adalah orang-orang
yang mengikuti Salafush Sholeh. Sedangkan orang-orang yang mengikuti
Salafush Sholeh yang paling awal dan utama adalah Imam Mazhab yang
empat.
Memang ada mazhab yang lain selain dari Imam Mazhab yang
empat namun pada kenyataannya ulama yang memiliki ilmu riwayah dan
dirayah dari Imam Mazhab yang lain sudah sukar ditemukan pada masa kini.
Tentulah kita mengikuti atau taqlid kepada Imam Mazhab yang empat
dengan merujuk kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Imam Mazhab yang empat
patut untuk diikuti oleh kaum muslim karena jumhur ulama telah sepakat
dari dahulu sampai sekarang sebagai para ulama yang berkompetensi
sebagai Imam Mujtahid Mutlak, pemimpin atau imam ijtihad dan istinbat
kaum muslim.
Kelebihan lainnya, Imam Mazhab yang empat adalah masih bertemu dengan Salafush Sholeh.
Contohnya Imam Syafi”i ~rahimahullah adalah imam mazhab yang cukup luas
wawasannya karena bertemu atau bertalaqqi (mengaji) langsung kepada
Salafush Sholeh dari berbagai tempat, mulai dari tempat tinggal awalnya
di Makkah, kemudian pindah ke Madinah, pindah ke Yaman, pindah ke Iraq,
pindah ke Persia, kembali lagi ke Makkah, dari sini pindah lagi ke
Madinah dan akhirnya ke Mesir. Perlu dimaklumi bahwa perpindahan beliau
itu bukanlah untuk berniaga, bukan untuk turis, tetapi untuk mencari
ilmu, mencari hadits-hadits, untuk pengetahuan agama. Jadi tidak heran
kalau Imam Syafi’i ~rahimahullah lebih banyak mendapatkan hadits dari
lisannya Salafush Sholeh, melebihi dari yang didapat oleh Imam Hanafi
~rahimahullah dan Imam Maliki ~rahimahullah
Imam Mazhab yang
empat adalah para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang
membawa hadits” yakni membawanya dari Salafush Sholeh yang meriwayatkan
dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Jadi kalau kita ingin ittiba li Rasulullah (mengikuti Rasulullah) atau
mengikuti Salafush Sholeh maka kita menemui dan bertalaqqi (mengaji)
dengan para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa
hadits”.
Para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang
membawa hadits” adalah para ulama yang sholeh yang mengikuti salah satu
dari Imam Mazhab yang empat.
Para ulama yang sholeh yang
mengikuti dari Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh yang
memiliki ketersambungan sanad ilmu (sanad guru) dengan Imam Mazhab yang
empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki ilmu riwayah dan
dirayah dari Imam Mazhab yang empat.
Jadi bermazhab dengan Imam
Mazhab yang empat adalah sebuah kebutuhan bagi kaum muslim yang tidak
lagi bertemu dengan Rasulullah maupun Salafush Sholeh.
Orang-orang yang meninggalkan Imam Mazhab yang empat memang sering
mengungkapan pendapat seperti “kita harus mengikuti hadits shahih. Bukan
mengikuti ulama. Al-Imam Al-Syafi’i sendiri berkata, “Idza shahha
al-hadits fahuwa mazhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits
itulah mazhabku)”.
Banyak kalangan yang tidak memahami dengan
benar perkataan Beliau. Sehingga, jika yang bersangkutan menemukan
sebuah hadits shahih yang menurut pemahaman mereka bertentangan dengan
pendapat mazhab Syafi’i maka yang bersangkutan langsung menyatakan bahwa
pendapat mazhab itu tidak benar, karena Imam Syafi’i sendiri mengatakan
bahwa hadits shahih adalah mazhab beliau. Atau ketika seseorang
menemukan sebuah hadits yang shahih, yang bersangkutan langsung
mengklaim, bahwa ini adalah mazhab Syafi’i.
Imam Al-Nawawi
sepakat dengan gurunya ini dan berkata, “(Ucapan Al-Syafi’i) ini hanya
untuk orang yang telah mencapai derajat mujtahid madzhab. Syaratnya: ia
harus yakin bahwa Al-Syafi’i belum mengetahui hadits itu atau tidak
mengetahui (status) kesahihannya. Dan hal ini hanya bisa dilakukan
setelah mengkaji semua buku Al-Syafi’i dan buku murid-muridnya. Ini
syarat yang sangat berat, dan sedikit sekali orang yang mampu
memenuhinya. Mereka mensyaratkan hal ini karena Al-Syafi’i sering kali
meninggalkan sebuah hadits yang ia jumpai akibat cacat yang ada di
dalamnya, atau mansukh, atau ditakhshish, atau ditakwil, atau
sebab-sebab lainnya.”
Al-Nawawi juga mengingatkan ucapan Ibn
Khuzaimah, “Aku tidak menemukan sebuah hadits yang sahih namun tidak
disebutkan Al-Syafii dalam kitab-kitabnya.” Ia berkata, “Kebesaran Ibn
Khuzaimah dan keimamannya dalam hadits dan fiqh, serta penguasaanya akan
ucapan-ucapan Al-Syafii, sangat terkenal.” ["Majmu' Syarh Al-Muhadzab"
1/105]
Kajian qoul Imam Syafi’i yang lebih lengkap, silahkan membaca tulisan, contohnya pada http://generasisalaf.wordpress.com/2013/06/15/memahami-qoul-imam-syafii-hadis-sahih-adalah-mazhabku-bag-2/
Perlu kita ingat bahwa hadits yang telah terbukukan dalam kitab-kitab
hadits jumlahnya jauh di bawah jumlah hadits yang dikumpulkan dan
dihafal oleh Al-Hafidz (minimal 100.000 hadits) dan jauh lebih kecil
dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah (minimal
300.000 hadits). Sedangkan jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal
oleh Imam Mazhab yang empat, jumlahnya lebih besar dari jumlah hadits
yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah
Asy-Syeikh Abu Amru
mengatakan: ”Barang siapa menemui dari Syafi’i sebuah hadits yang
bertentangan dengan mazhab beliau, jika engkau sudah mencapai derajat
mujtahid mutlak, dalam bab, atau maslah itu, maka silahkan mengamalkan
hal itu“
Penjelasan tentang derajat mujtahid mutlak dan tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi’i, silahkan baca tulisan pada http://almanar.wordpress.com/2010/09/21/tingkatan-mufti-madzhab-as-syafi’i/
Kesimpulannya ketaatan umat Islam kepada ulil amri setempat yakni para
fuqaha (mufti) yang dipimpin oleh mufti agung lebih didahulukan dari
pada ketaatan kepada pemimpin ormas maupun penguasa negeri dalam rangka
menyunjung persatuan dan kesatuan kaum muslim sesuai semangat piagam
Madinah.
Kita dapat mengambil pelajaran dari kerajaan Islam
Brunei Darussalam berideologi Melayu Islam Beraja (MIB) dengan penerapan
nilai-nilai ajaran Agama Islam dirujuk kepada golongan Ahlus Sunnah wal
Jamaah yang dipelopori oleh Imam Al Asyari dan mengikut Mazhab Imam
Syafei. Sultan Brunei disamping sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan merangkap sebagai perdana menteri dan menteri pertahanan
dengan dibantu oleh dewan penasihat kesultanan dan beberapa menteri,
juga bertindak sebagai pemimpin tertinggi Agama Islam dimana dalam
menentukan keputusan atas sesuatu masalah dibantu oleh Mufti Kerajaan.
Negara kitapun ketika awal berdirinya memiliki lembaga tinggi negara
yang bernama “Dewan Pertimbangan Agung” yang berunsurkan ulama yang
sholeh yang dapat memberikan pertimbangan dan usulan kepada pemerintah
dalam menyelenggarakan pemerintahan agar tidak bertentangan dengan Al
Qur’an dan As Sunnah.
Lembaga negara yang berunsurkan kata
“agung” seperti Mahkamah Agung , Jaksa Agung pada hakikatnya adalah
wakil-wakil Tuhan dalam menegakkan keadilan di muka bumi agar sesuai
dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Salah satu contoh ulama yang
menjadi anggota “Dewan Pertimbangan Agung” adalah Syaikh Muhammad Jamil
Jambek ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatera Barat awal abad ke-20
yang pernah berguru dengan Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang
merupakan ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan
guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Namun dalam perjalanannya Dewan
Pertimbangan Agung perannya dalam roda pemerintahan di negara kita
“dikecilkan”. Bahkan pada zaman era Surharto, singkatan DPA mempunyai
arti sebagai “Dewan Pensiun Agung” karena keanggotaanya terdiri dari
pensiunan-pensiunan pejabat. Sehingga pada era Reformasi , Dewan
Pertimbangan Agung dibubarkan dengan alasan sebagai lembaga yang tidak
effisien.
Jadi cara mengawal syariat Islam dalam sistem
pemerintahan di negara kita dengan cara mengembalikan wewenang para ahli
fiqih untuk menasehati dan membimbing penguasa negeri sehingga dalam
menjalankan roda pemerintahan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As
Sunnah sehingga tidak ada keraguan lagi bagi kaum muslim untuk mentaati
penguasa negari
By : Zon Jonggol
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
ISIS Terbitkan Piagam Bukan Kafir
BalasHapusMayat Ini Terbang Untuk Menunjukkan Pembunuhnya
Cara Cepat Menyembuhkan Semua Penyakit
Apakah Memakai Jubah Itu Sunnah
Tampil Tanpa Cadar, Istri Ulama Saudi Diancam
Ini Dia Orang Paling Kaya Seantero Arab
Inilah Gaya Pesta Ala Milyuner Arab
Inilah Tempat Tinggal Jin
Sejarah Ka'bah Yang Harus Anda Ketahui
Jerussalem, Kota Suci Tiga Agama
100 Caci Maki Buat Wahabi
Simbol Kristen Di Dinding Masjidil Haram
Download Buku Membuka Kedok Tokoh Liberal NU