Sejarah Ulama Aswaja Nusantara Dan Distorsi -salafi- Wahabi
Ulama' Aswaja NU-santara ini diklaim wahabi -salafi- bagian dari golongan mereka
Maulana Syeikh Sulaiman ar-Rasuli (w. 1970) yang mengarang berbagai risalah tentang Naqsyabandiyah, salah satunya yang terkemuka ialah Risalah Aqwal al-Washithah fi Dzikr wa Rabithah; kemudian Syeikh Abbas Qadhi Ladang Laweh, Syeikh Arifin Batu Hampar, kemudian Syeikh Abdul Wahid “Beliau Tabek Gadang” Payakumbuh.
Dan saat polemik tersebut semakin meruncing sampai ke ranah khilafiyah dan furu’iyah fiqih maka para ulama kaum tua di Minang merespon gerakan pembaharuan kaum muda tersebut dengan mendirikan PERTI atau Persatuan Tarbiyah Islamiyah pada tahun 1930. Maka lengkaplah sudah babak polemik agama Islam antara kaum muda/modernis dan kaum tua/tradisionalis di ranah Minang.
Namun seiring dengan waktu setelah masa pergolakan dan perang dingin antara kaum pembaharu muda dengan Sumatera Thawalib dan Muhammadiyah-nya serta kaum tua dengan PERTI-nya tersebut, mereka lalu hidup berdampingan dalam persaudaraan hingga hari ini. Sungguh ikatan persaudaraan mereka sebagai muslim dan ikatan emosional adat dan kekerabatan di alam Minangkabau tak memberi sedikitpun tempat bagi perilaku takfir dan tabdi' ala Wahabiyah.
Terlebih lagi semoderat apapun pemikiran DR. Abdul Karim Amrullah akibat pengaruh gerakan tajdid ala Abduh dan Ridha di Mesir dia tetaplah jua seorang ulama yang sangat kental corak dan latar belakang thariqatnya. Bahkan seperti halnya gurunya diapun adalah seorang sufi belaka jua.
Sang Inyiak Rasul ini adalah anak dari seorang ulama besar dan legendaris Minangkabau bernama Syeikh Amrullah Tuanku Kisa’i al-Khalidi Naqsyabandi ad-Danawi. Ayahnya tersebut yang lebih dikenal di kalangan masyarakat Minang saat itu dengan sebutan Tuanku Kisai ini adalah seorang ulama pewaris kaum paderi dan seorang mursyid thariqat Naqsabandiyah Khalidiyah dan beberapa thariqat lainnya. Dari ayahandanya inilah Inyiak Rasul mendapatkan ijazah thariqat Alawiyah dan Haddadiyah.
Begitupula dengan DR. Abdullah Ahmad Padang dan Syeikh Muhammad Jalil Jambek serta ulama-ulama Minang pengusung modernisme lainnya juga adalah orang-orang yang berlatar belakang thariqat belaka adanya.
Dan perlu juga kami tuturkan di sini bahwa tak sedikit pula murid dari Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang justru malah menjadi ulama-ulama thariqat Naqsabandiyah dan cenderung berdiri di sisi kaum tua.
Jadi di Minangkabau tak ada itu gerakan tajdid membabi buta ala Abduh dan Ridha di Mesir yang secara serampangan memberangus thariqat-thariqat sufi dengan menggunakan kekuasaan Abduh sebagai seorang mufti. Tak ada pula itu obral tabdi' apalagi takfir dan tindakan penghalalan darah sesama muslim sebagaimana layaknya corak kelam dan menjijikkan yang mewarnai sejarah gerakan Wahabi di manapun dia berada.
Perdebatan boleh bergemuruh laksana guruh di dalam topan badai, argumen dan dalil boleh diumbar selebar dan sepanjang jalan berkelok ampek puluah ampek nan masyhur itu, namun hanya sebatas kajian keilmuan saja, tiadalah lebih.
Modernisasi tak pelak memang perlu dilakukan sebagai keniscayaan tuntutan zaman, namun bukan berarti menjadi alibi dan legitimasi untuk mendobrak tatanan kaidah agama yang telah ijma' selama nyaris 1000 tahun lebih seperti tradisi dan kaidah bermadzhab.
Inilah yang sangat disadari oleh kaum muda pembaharu di Minangkabau, mereka mengganti yang usang dengan yang baru sesuai tuntutan zaman tanpa harus membuang seluruhnya. Mana yang baik dan bisa dipakai maka tetaplah dipertahankan karena merenovasi sebuah rumah bukanlah dengan cara meruntuhkan pondasi rumah tersebut dengan dinamit, sungguh hanya orang kurang akal dan telah pesong otaknya saja yg melakukan hal itu.
Tapi walaupun demikian adanya, tiadalah dapat dipungkiri kalau angin gelombang pembaharuan ini berperan tidaklah sedikit dalam memudarkan tradisi belajar agama di surau yang lazim berlaku di ranah Minang. Lengang sudah surau-surau tempat anak nagari mempelajari ilmu agama, mengkaji kitab-kitab kuning para ulama terdahulu, mengenal adat nan basandi syara' dan basandi Kitabullah, serta menyelami dan meniti jenjang syariat, hakikat dan ma'rifat menuju sosok insan kamil.
Zaman kini telah berganti, gamis dan sarung, saluak, kopiah serta imamah telah berganti dengan kemeja, celana pentalon serta setelan jas ala Eropa. Ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah, ma'ani, bayan, manthiq dan ushul telah tergantikan dengan pelajaran agama bermetode Barat yang serba modern dan menggunakan huruf latin. Tradisi “lalok di surau” (menginap di mesjid/mushola) selepas mengaji dan shalat Isya telah lenyap sudah menjadi cerita masa lalu bagi generasi muda nan lugu dan tak tahu asa barasa carito cadiak pandai urang awak.
Dan akibatnya semakin sedikit yang bisa membaca kitab-kitab tulisan hasil buah fikiran dan manisnya lautan madu ilmu ulama-ulama angku nan tuo. Kitab itu kini semakin habis dimakan usia, seiring habis dan terangkatnya kejayaan dan keemasan serta harum mewanginya ranah Minang sebagai salah satu gudangnya ulama, sastrawan serta kaum cerdik pandai di Nusantara. Inikah yang dinamakan pembaharuan yang gegap gempita bergaung suaranya dari Mesir hingga ke pojok-pojok kampung yang orang-orangnya bahkan tak tahu ada negeri lain di dunia ini selain nagari nan diapik gunung Singgalang dan danau Maninjau? Tajdid... oooh tajdid!
DR. Abdul Karim Amrullah dan seluruh ulama pembaharu di ranah Minang hingga akhir hayatnya tetaplah berpegang teguh kepada madzhab akidah Asy'ariyah-Maturidiyah, madzhab fiqih Syafi'iyah dan berthariqat dengan thariqat-thariqat yang mu'tabarah.
Tak sejengkalpun mereka melepaskan diri dari taqlid kepada madzhab Imam Syafi'i sebagaimana yang diserukan Abduh dan Ridha. Beliau tetaplah mengikuti jejak ayahandanya Tuanku Kisai, gurunya Syeikh Ahmad khatib al-Minangkabawi dan ulama-ulama terdahulu dalam hal kaidah tradisi bermadzhab kepada salah satu madzhab yang empat, dalam hal ini madzhab Syafi'iyah.
Tiadalah beliau mengenal apalagi menganut tauhid yang dibagi tiga laksana membelah martabak yang dibeli di pinggir jalan itu, tak ada itu Uluhiyah, Rububiyah dan Asma wa Shifat dalam kamus dalil Inyiak Rasul.
Maka dengan itu klaim murahan kaum Wahabi bahwa para pembaharu di Minang adalah kaum Wahabiyah adalah kebohongan belaka. Sebuah usaha pendistorsian sejarah yang sangat licik dan menjijikkan serta dengan mudah dapat ditelanjangi di siang hari bolong di tengah ramainya orang di balai.
Coba fikir, seorang Wahabi macam apa yang berbaiat kepada dua thariqat sekaligus seperti beliau? Wahabi macam apa pula yang tetap berpegang teguh dan taqlid kepada Imam Syafi'i? Bahkan putera beliau yaitu Buya Hamka yang tak luput jua dari distorsi sejarah dan klaim para Wahabi bahwa beliau berfaham tauhid ala Najd itupun sejatinya juga adalah seorang Asy'ariyah-Syafi'iyah. Walaupun dalam beberapa masalah beliau cukup moderat toh menjelang akhir hayatnya Buya Hamka akhirnya berbaiat kepada KH. A. Shohibulwafa Tajul Arifin atau lebih dikenal dengan Abah Anom dari pesantren Suryalaya di bawah thariqat Qodiriyah wa Naqsabandiyah.
Terlebih lagi beliau juga menulis sebuah buku tentang tassawuf berjudul “Tassawuf Modern”, patahlah sudah klaim kaum Wahabi terhadap beliau laksana kayu lapuk yang telah usang dimakan rayap. Dan jika klaim serta distorsi yang mereka lakukan terhadap kaum pembaharu di era modern masih kurang maka mereka kemudian melakukan hal yang sama liciknya kepada figur ulama ranah Minang yang jauh lebih tua lagi. Tuanku Imam bonjol, Tuanku nan renceh dan kaum Paderi di Minang diklaim juga oleh mereka sebagai ulama yang berfaham Wahabiyah.
Hal ini tentunya jauh lebih menggelikan bagi kami karena klaim ini teramat sangatlah lebih mentah dari klaim mereka terhadap kaum muda pembaharu di era modern. Hal tersebut karena Tuanku Imam bonjol, Tuanku Nan Renceh dan seluruh ulama paderi yang mahsyur dengan sebutan “Harimau nan salapan” itu adalah murid dan salik dari Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo, seorang ulama tua dan mursyid thariqat Syattariyah.
Dengan demikian terlepas dari keradikalan mereka dalam menegakkan syari'at Islam di ranah Minang dan menghadapi kaum adat pada masanya, Tuanku Imam bonjol dan kaum paderi lainnya tak lain tak bukan adalah kaum sufi jualah kiranya.
Mau tak mau lagi lagi kami harus bertanya: “Wahabi macam apa pulakah yang berthariqat Syattariah? Wahabi manakah yang di kepalanya melingkar lilitan imamah seperti kaum paderi?”
Kami rasa tak satupun Wahabi yang bisa menjawabnya. Sungguh cahaya kebenaran itu memang lebih terang dari sinar mentari bagi orang-orang yg mengetahuinya, bagi yang tak pernah berhenti menggalinya dan bagi yang diberi petunjuk oleh Allah Swt.
6. Pelurusan Distorsi Sejarah yang Dilakukan Wahabi terhadap KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyyah-nya di Tanah Jawa
Lain di Minang, maka lain pula yang terjadi di pulau Jawa. Di pulau yang lazim dulu disebut dengan nama Jawadwipa ini tersebutlah seorang tokoh pembaharu bernama KH. Ahmad Dahlan. Sebagaimana rekannya dari Minang KH. Ahmad Dahlan yang bernama asli Muhammad Darwis ini, pun adalah murid dari Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.
Kaum Wahabi mengatakan bahwa beliau adalah salah seorang tokoh pembaharu Islam di Indonesia yang berfaham Wahabi dengan alibi bahwa fiqih kaum Muhamadiyah, organisasi yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan mirip dengan mereka.
Memang, kaum Muhammadiyin saat ini melaksanakan shalat dengan tanpa membaca “Usholi”. Shalat Shubuh dengan tidak memakai doa qunut, anti ziarah kubur, tahlilan dan menjauhi segala macam praktek agama Islam yang menurut mereka mengandung TBC (Takhayul, Bid'ah dan Churafat). Selama puluhan tahun semenjak berdirinya Muhammadiyah dianggap sebagai representasi dari golongan Islam modernis di Indonesia dan merupakan rival serta antitesis dari golongan Islam tradisional NU, Nahdlatul Ulama, sebuah organisasi yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy'ari.
Dan memang benar bahwa KH. Ahmad Dahlan sangat akrab dengan ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dari majalah al-Manar. Dan saat berada di Mekkah beliau seperti para pelajar asal Indonesia lainnya juga ramai mendiskusikan bagaimana cara agar negeri asal mereka segera lekas merdeka dari belenggu penjajahan kolonialis Belanda.
Keruntuhan kekhalifahan Turki Utsmani semakin memperparah keadaan umat Islam di negeri-negeri terjajah dan memaksa banyak orang berfikiran maju seperti KH. Ahmad Dahlan harus mencari solusi atas permasalahan yang ada.
Dan ide-ide modernisasi pendidikan, ekonomi, sosial dan kesadaran politik yang dipropagandakan oleh Abduh dan Ridha sedikit memberi gambaran apa langkah yang harus dia lakukan. Maka terbentuklah pemikiran seorang Ahmad Dahlan dari sini, sosok seorang santri dan Kiyai Jawa yang besar di daerah yang juga kental budaya Jawa dan pengajaran Islamnya di daerah Kauman Jogjakarta Hadiningrat yang terbuka matanya.
Dari dalam dirinya lahirlah kesadaran bahwa umat saat itu perlu mengejar ketinggalan-ketinggalan mereka, atau mau tak mau akan tergilas oleh perubahan zaman dan tetap tunduk di bawah kaki penjajahan Belanda.
Belum lagi saat itu misi Zending yang diback-up penuh oleh pemerintah kolonial Belanda gencar sekali melakukan misi pemurtadannya terhadap rakyat di daerah-daerah di pulau Jawa. Hal ini tentu saja merisaukan dirinya sebagai seorang ulama dan pejuang kemerdekaan karena ternyata umat saat itu tak hanya terjajah fisik dan mentalnya namun juga akidahnya.
Sementara kehidupan beragama masyarakat saat itupun semakin tak jelas, kekakuan sikap sebagian besar kalangan Islam tradisional pesantren saat itu tidak memberi solusi apapun atas keadaan yang terjadi waktu itu baginya.
Maka diapun membuka dirinya terhadap hal-hal yang baru bahkan tabu bagi sebagian besar kalangan kiyai Jawa saat itu. Yang pertama kali dia lakukan saat itu adalah membangun sebuah madrasah sekolah diniyah yang menggunakan metode pengajaran Barat yang mengkombinasikan antara pelajaran agama dengan pelajaran umum diajarkan di sekolah-sekolah resmi Belanda saat itu, seperti bahasa Inggris dan ilmu bumi.
Kemudian dia juga tak segan bergabung dengan organisasi modern pribumi pertama saat itu yaitu Boedi Oetomo. Padahal kalangan kiyai dan pesantren saat itu menganggap Boedi Oetomo adalah perkumpulan berbasis sekuler-kejawen yang tentunya kurang pantas dimasuki oleh seorang kiyai seperti Ahmad Dahlan.
Belakangan saat Syarekat Islam, sebuah organisasi massa modern Islam pertama di Indonesia terbentuk, KH. Ahmad dahlan pun ikut bergabung di sana. Dan yang terakhir dia bergabung pula dengan Jami'at Kheir, sebuah organisasi modern yang didirikan oleh kalangan keturunan Arab di Indonesia wabil khusus dari kalangan Ahlul Bait Dzuriyat Rasulullah Saw.
Dengan demikian KH. Ahmad Dahlan tak hanya akrab dengan pemikiran Islam, namun juga dengan pemikiran-pemikiran modern di luar Islam yang dikenalnya dari sosok tokoh-tokoh pergerakan nasional saat itu seperti Dr. Sutomo, Dr. Wahidin Sudirohusodo, HOS. Tjokroaminoto dan yang lainnya.
Putera Kauman ini lalu berubah menjadi sosok yang modern, berfikiran maju dan kritis dalam mengahadapi setiap permasalahan. Dan bagi sebagian orang saat itu tindak tanduk dan gaya berfikir KH. Ahmad Dahlan telah keluar dari pakem-pakem kalangan pesantren.
Pergesekan tentunya terjadi, namun KH. Ahmad Dahlan tentunya melakukan semua itu bukan tanpa tujuan. Semua itu ia lakukan karena ia ingin belajar dan menyerap ilmu berorganisasi secara modern yang dimiliki kalangan Indonesia non pesantren saat itu, yaitu kalangan orang-orang terpelajar pribumi yang telah mendapatkan pendidikan modern ala Eropa.
Jadi betul sekali kalau KH. Ahmad Dahlan adalah seorang kiyai yang berfikiran modern dan visioner jauh ke depan, namun mereka menyembunyikan beberapa hal penting seputar sejarah berdirinya Muhammadiyah dan figur pendirinya tersebut.
KH. Ahmad Dahlan seperti layaknya ulama-ulama pada zamannya berguru kepada banyak ulama dalam hidupnya. Selain kepada Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi di Mekkah beliau juga berguru kepada banyak ulama lainya.
Salah satu guru beliau dan yang paling mempengaruhi diri dan pemikirannya adalah KH. Sholeh Darat Semarang, seorang ulama yang cukup terkenal di masanya dan berasal dari kota Semarang Jawa tengah. Beliau adalah salah seorang ulama generasi tua di pulau Jawa dan merupakan orang yang mempelopori penulisan penerjemahan kitab al-Quran dengan menggunakan huruf Jawa pegon (huruf hijaiyah yang dipakai untuk melafalkan bahasa Jawa).
Mbah Sholeh Darat, begitu beliau biasa dikenal adalah seorang ulama yang tidak saja berilmu tinggi dan banyak sekali menulis kitab semasa hidupnya, namun juga sangat merakyat, dekat dengan masyarakat, memikirkan keadaannya dan pastinya sangat anti terhadap fihak penjajah Belanda.
Saat mondok di Pesantren Darat ini pada usia 16 tahunlah KH. Ahmad Dahlan yang saat itu masih dikenal dengan nama kecilnya Muhammad Darwis mengenal kesadaran akan cita-cita kemerdekaan dari gurunya tersebut. Di pesantren ini jugalah ia saat itu bertemu dan berkawan sangat akrab dengan seorang remaja berusia 14 tahun yang berasal dari Dusun Gedang Karas Jombang, Jawa timur. Remaja sederhana, santun dan cenderung pendiam itu bernama Hasyim Asy'ari, seorang yang kelak menjadi seorang ulama besar bergelar Hadhratus Syeikh dan pendiri NU, ormas Islam terbesar di Indonesia bahkan dunia.
Mereka berdua bahkan tinggal di dalam kamar yang sama di pondokan Mbah Sholeh Darat dan merupakan santri-santri kesayangan beliau yang sangat patuh dan manut dengan dawuh kiyainya tersebut.
Selama kurang lebih 2 tahun mereka sama-sama mondok di pesantren Mbah Sholeh Darat dalam asuhan kasih sayang serta curahan ilmu dari sang guru tercinta. Setelah itu mereka sama-sama menyusuri jalannya masing masing.
Dan walaupun saat telah sama-sama menjadi tokoh besar mereka mempunyai beberapa perbedaan pandangan namun kenangan manis saat sama-sama nyantri kepada Kyai Sholeh Darat dulu adalah perekat persaudaraan mereka yang tak pernah hilang. KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy'ari yang saat mondok dulu sering berebut untuk berkhidmat kepada gurunya tersebut bagaikan dua sisi mata koin yang saling melengkapi.
Kiyai Sholeh Darat sendiri adalah seorang penganut akidah Asy'ariyah-Maturidiyah, dan pembela madzhab akidah tersebut. Dan sebagai seorang murid tentunya KH. Ahmad Dahlan manut taqlid dengan akidah yang sama dengan gurunya tersebut. Ditambah lagi saat ia belajar di Mekkah pun ia berguru kepada masyaikh berakidah Asy'ariyah-Maturidiyah dan berfiqih Syafi'iyah pula. Maka sebagaimanapun akrabnya dia dengan ide-ide gerakan tajdid yang digaungkan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha ia tetaplah tiada sejengkalpun jua beranjak apalagi berani membelakangi akidah yang dipelajari dari guru-gurunya dan kaidah taqlid bermadzhab kepada madzhab imam yang empat, dalam hal ini Syafi'iyah.
Saat ia pulang dari Tanah Suci, bahkan ia mendapat dawuh atau perintah langsung dari gurunya Kiyai Sholeh Darat untuk berdakwah di kalangan masyarakat perkotaan modern. Hal inilah yang membuat beliau kamudian terdorong untuk mendirikan Muhammadiyah yang memang dirancang untuk memajukan pendidikan umat di perkotaan dan membentengi umat dari misi Kristenisasi Zending.
Ditambah lagi saat masa-masa awal pendirian Muhammadiyah beliau yang saat itu menjadi anggota Jamiat Kheir mendapatkan bantuan baik moril maupun materil yang tak sedikit dari Sayyid Abdullah bin Alwi Alattas seorang staf Jamiat Kheir. Sebagai seorang keturunan dari Sayyid Maulana Malik Ibrahim, salah seorang Walisongo, tentunya beliau memiliki pertalian darah dengan komunitas Arab Dzuriyah Alawiyin dan membuatnya cukup akrab dengan mereka.
Dan tentunya telah maklumlah kita adanya bahwa para Dzuriyah Rasulullah dari kalangan Alawiyin adalah orang-orang yang sangat gigih memegang teguh akidah Asy'ariyah-Maturidiyah serta madzhab Syafi'i, tak terkecuali dengan KH. Ahmad Dahlan.
Walaupun ia tidak terang-terangan menolak mentah-mentah dengan tegas seruan serta ide Abduh dan Ridha untuk keluar dari madzhab imam yang empat namun dalam keyakinan serta prakteknya beliau tetaplah menafikkan seruan mereka tersebut. Sejauh apapun ilmu dituntut, semodern apapun fikiran dikembangkan yang namanya pondasi akidah dan kaidah bermadzhab adalah hal yang niscaya mutlak bagi KH. Ahmad Dahlan.
Begitupulalah pandangan beliau terhadap permasalahan thariqat, beliau juga membuang jauh-jauh ide untuk keluar dari thariqat-thariqat yg mu'tabarah. Tak banyak yang tahu bahwa di balik jubah seorang modernisnya KH. Ahmad Dahlan tetaplah seorang sufi dan tokoh thariqat di tanah Jawa yang berbaiat kepada guru mursyidnya yaitu KH. Sholeh Darat Semarang.
Sejauh apapun ilmu suthur (ilmu fiqih syariat) dituntut dan dikumpulkan di kepala tetaplah takkan lengkap kiranya jika tak dibarengi dengan ilmu shudur (ilmu bathin yang menata dan mengolah hati). Hal ini sangat disadari oleh KH. Ahmad Dahlan. Di hadapan gurunya ia tetaplah Muhammad Darwis yang manut dengan dawuh dari guru dan mursyidnya tercinta KH. Sholeh Darat Semarang.
Hal inilah juga yang beliau terapkan saat beliau mendirikan ormas/jemaah Muhammadiyah. Walaupun tak terang-terangan menggariskan bahwa Muhammadiyah adalah jemaah bermadzhab Syafi'iyah seperti yang kelak dilakukan oleh sahabatnya KH. Hasyim Asy'ari saat mendirikan NU, namun dalam amalannya Muhammadiyah tetaplah mengamalkan fiqih sesuai madzhab Imam Syafi'i.
Kami tidak bicara kosong dan melakukan klaim yg mengada ada seperti layaknya kebiasaan kaum Wahabi di sini. Berikut kami kutipkan ringkasan fiqih yang diamalkan kalangan Muhammadiyah di masa awal berdirinya organisasi Islam yang sempat menjadi sangat besar di masa lalu tersebut, dan tetaplah terpandang dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara hingga hari ini. Berikut ini ringkasannya:
Ringkasan KITAB FIQIH MUHAMMADIYAH, penerbit Muhammadiyah Bagian Taman Poestaka Jogjakarta, jilid III, diterbitkan th 1343 H (sekitar th 1926):
1. Niat sholat pakai “USHOLLI FARDLA..” (h. 25)
2. Setelah takbir baca “KABIRAN WAL HAMDULILLAHI KATSIRA..” (h. 25)
3. Membaca al-Fatihah pakai “BISMILLAH” (h. 26)
4. Setiap Shubuh baca QUNUT (h. 27)
5. Membaca sholawat pakai “SAYYIDINA”, termasuk bacaan sholawat dalam sholat (h. 29)
6. Setelah sholat disunnahkan WIRIDAN: Istighfar, Allahumma Antassalam, Subhanallah 33x, Alhamdulillah 33x, Allahu Akbar 33x (h. 40-42)
7. Sholat Tarawih 20 rokaat, tiap 2 rokaat 1 salam (h. 49-50)
8. Tentang sholat & khutbah Jum’at juga sama dengan amaliah NU (h. 57-60).
Pertanyaan kami, apakah kaum pemegang teguh manhaj salaf dan pewaris gerakan tajdid Pan Islamisme radikal-fundamental saat ini mengamalkan hal yang juga diamalkan oleh KH. Ahmad Dahlan dan orang-orang Muhammadiyah di masa awalnya seperti yang tercantum di atas?
Jika iya, maka selamat Anda telah menjadi seorang Aswaja Syafi'iyah seperti halnya kami, namun jika tidak maka janganlah mempermalukan diri tuan-tuan dengan mengklaim bahwa KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah berfiqih dan berfaham Wahabiyah seperti yang kalian anut.
sHingga akhir hayatnya di tahun 1923 beliau KH.Ahmad Dahlan adalah murni seorang Asy'ariyah-Maturidiyah bermadzhab Syafi'iyah dan tak pernah sejengkalpun beranjak dari kaidah-kaidah bermadzhab.
Lalu dari manakah datangnya amalan-amalan warga Muhammadiyah yang saat ini konon katanya persis dengan apa yang diamalkan oleh kaum berfaham Wahabi? Setelah KH. Ahmad Dahlan meninggal, perkumpulan Muhammadiyah disemarakkan oleh banyaknya diskusi-diskusi keagamaan oleh anggotanya baik secara pribadi dalam pertemuan-pertemuan maupun melibatkan perkumpulan, seperti yang terjadi pada kongres Islam di Surabaya tahun 1924.
Topik utama yang didiskusikan dalam kongres ini antara lain adalah masalah ijtihad di seputar ajaran Muhammadiyah dan al-Irsyad. Diantara keputusan penting yang dihasilkan dalam kongres ini adalah bahwa Muhammadiyah dan al-Irsyad tidak sama dengan orang- orang Wahabi, bahwa kedua organisasi ini tidak dianggap menyimpang dari madzhab-madzhab hukum Islam, dan mereka yang melakukan tawassul tidak dianggap kafir.
Setelah terjadi perdebatan panjang, hangat dan tajam dalam kongres, para pemimpin muslim yang hadir sepakat bahwa pintu ijtihad masih terbuka dan dapat dilakukan oleh mereka yang memahami Bahasa Arab dan menguasai teks-teks al-Quran dan Hadits, menguasai ijma’ ulama, mengetahui para perawi hadits dan riwayat mereka, dan mengetahui alasan-alasan turunnya al-Quran dan dikeluarkannya matan-matan hadits.
Muhammadiyah selalu terbuka dan terus berkembang, termasuk dalam hal keputusan Tarjih. Hal ini karena dalam penentuan sebuah keputusan Tarjih diambil dengan cara mencari yang paling kuat dasarnya, bahkan bisa terjadi tidak sejalan dengan praktik yang dilakukan pendirinya KH.Ahmad Dahlan.
Salah satu pemimpin Muhammadiyah selanjutnya adalah KH. Mas Mansur. Atas idenya Muhammadiyah mendirikan Majlis Tarjih pada tahun 1927. Sehingga dengan berdirinya Majlis Tarjih, gerak langkah Muhammadiyah dalam menimbang Hukum Agama tidak lagi bertaqlid kepada satu madzhab dan lebih jelasnya bahwa Muhammadiyah berubah menjadi tidak lagi bermadzhab Syafi'i.
Di masa KH. Mas Mansyur inilah terjadi revisi-revisi dalam amalan-amalan warga Muhammadiyah setelah melakukan kajian mendalam, termasuk keluarnya Putusan Tarjih yang menuntunkan tidak dipraktikkannya doa Qunut di dalam shalat Shubuh dan jumlah rakaat shalat Tarawih menjadi sebelas rakat. Sebuah hal yang nyaris mustahil terjadi jika KH. Ahmad Dahlan masih hidup, dimana saat itu Muhammadiyah sepi dari perdebatan yg melahirkan keputusan yang berkenaan dengan khilafiyah dan keluar dari kaidah bermadzhab.
7. Van Der Plas, Syeikh Ahmad Syurkati (Pendiri Al-Irsyad) dan Peranan Freemasonry-Wahabi dalam Distorsi Sejarah Muhammadiyah
Namun tak banyak yang mengetahui bahwa perubahan haluan Muhammadiyah dalam bermadzhab ini adalah akibat dari konspirasi yang dilancarkan oleh fihak kolonial Hindia Belanda dari dalam tubuh perkumpulan ini sendiri.
Posisi Muhammadiyah yang saat itu berkembang menjadi perkumpulan Islam yang besar dan semakin tertarik ke pusat pusaran politik seperti halnya Syarekat Islam/SI cukup membuat khawatir Gubernemen di Batavia. Posisi Gubernemen sendiri cukup terjepit saat itu menghadapi gelombang pergerakan politik etis serta tuntutan balas budi kepada kaum pribumi dari kaum demokrat liberal di dalam negeri Belanda di satu sisi.
Sedangkan di sisi lainnya mereka direpotkan oleh kaum pergerakan nasional Indonesia yang semakin hari semakin radikal saja, terutama dari kalangan Islam dalam hal ini SI yang saat itu juga terpengaruh oleh semangat revolusi Bolsheviks di Russia.
Ditambah lagi dengan kedatangan dua orang pelarian politik dari sayap radikal kaum sosial demokrat negeri Belanda bernama Sneevliet dan Baars yang dengan cepat membangun massanya di antara anggota SI yang diperkenalkan kepada ajaran Marxisme oleh mereka.
Gubernemen di Batavia sangat khawatir kalau Muhammadiyah yang sedang besar-besarnya saat itu ikut menjadi radikal seperti halnya SI mengingat mereka sama-sama berhaluan Islam moderat yang sangat terbuka akan pengaruh dari luar.
Pemerintah kolonial di Batavia tentunya tidak memerlukan dua lawan yang besar sekaligus. Berkali-kali mereka mencoba untuk melancarkan pembunuhan terhadap KH. Ahmad Dahlan, namun selalu gagal karena sang kiyai selalu dijaga ketat dan dikelilingi oleh jamaahnya. Oleh karena itu maka Van Der Plas seorang orientalis dan disinyalir juga sebagai agen MI-6 yang bekerja untuk Gubernemen Hindia Belanda segera merancang sebuah plot untuk “menjinakkan” Muhammadiyah dari dalam.
Tersebutlah seorang pemuda asal Aceh bernama Muhammad Basya Dahlan, seorang yang dibina langsung oleh Van Der Plas untuk menyusup ke dalam tubuh Muhammadiyah. Muhammad Basya Dahlan lalu dikirim oleh Van Der Plas ke Saudi Arabia, pusat gerakan Wahabi yang pemerintahannya disokong penuh oleh pemerintah Inggris dan gerakan Zionis-Freemasonry dunia.
Di sana dia mempelajari gerakan dan faham Wahabi langsung dari para masyaikh masyaikhnya di Najd dan kembali ke Indonesia untuk meniti karier keorganisasian di perkumpulan Muhammadiyah. Van Der Plas dengan sokongan penuh Gubernemen menggelontorkan uang jutaan gulden untuk mengantarkan Muhammad Basya ke posisi penting di dalam strata kepengurusan Muhammadiyah.
Setelah berhasil mulailah dia melancarkan aksinya menebar racun faham Wahabi di tubuh perkumpulan tersebut dan mencetak kader-kader muda Muhammadiyah yang berfaham wahabi. Dan ketika posisi Muhammad Basya Dahlan ini semakin kuat di dalam perkumpulan, atas dukungan kader-kader muda, maka KH. Ahmad Dahlan sampai terpaksa harus menyingkir ke pelosok lereng gunung merapi untuk menghindari kejaran dan bentrokan dengan Muhammad Basya Dahlan serta pengikutnya yang berfahaman keras Wahabi. Kelompok kecil KH. Ahmad Dahlan yang menyingkir inilah yang kemudian disebut sebagai “Muhammadiyah Dalam”.
Akidah mereka masih sama dengan akidah yang dianut oleh KH. Ahmad Dahlan, begitupula dalam masalah fiqih masih menganut madzhab Syafi'iyah sehingga amalan dan pemahamannya pun sama persis dengan warga NU dan Islam tradisional pada umumnya.
Sedangkan kelompok kaum muda yang dikader oleh Muhammad Basya Dahlan disebut sebagai “Muhammadiyah Luar”, kelompok inilah yang mendominasi dan menyebar ke seluruh pelosok Nusantara. Kelompok ini cenderung keras dalam bersikap terhadap kaum tradisionalis pesantren serta kiyai-kiyai Jawa, bahkan cenderung memusuhi KH. Hasyim Asy'ari dan NU serta kaum tradisionalis pada umumnya. Sikap mereka khas orang yang berfaham wahabi, dengan mengkampanyekan anti TBC (Takhayul, Bid'ah dan Churafat), tabdi', bahkan dalam beberapa kasus tak segan-segan melancarkan takfir.
Mereka memusuhi dengan keras amalan-amalan warisan KH. Sholeh Darat yang diamalkan oleh kaum Muhammadiyah Dalam dan NU seperti Shalawat Burdah, tahlil dan kitab-kitab karangan beliau yang menerangkan tentang kaidah bermadzhab serta faham akidah Asy'ariyah-Maturidiyah.
Selain itu mereka juga memusuhi dan tidak mangakui para Ahlul Bait Dzuriyah Rasulullah dan menafikan peran mereka sebagai pembawa Islam ke Nusantara. Ajaibnya beberapa keturunan Kiyai Sholeh Darat sendiri ada yang mendukung pemahaman dan penyikapan kaum Muhammadiyah Luar ini termasuk memusuhi tradisi dan kitab-kitab kakek buyut mereka sendiri.
Inilah yang menyebabkan timbulnya ketegangan antara warga Muhammadiyah dan NU serta kaum tradisionalis lainnya di masa lalu, tentunya kita pernah mendengar bahwa hanya karena masalah qunut atau tidak qunut saja pun mereka sering kali nyaris baku hantam bukan?
Sebuah kenyataan yang sangat memilukan hati ini jika kita mengetahui bahwa kedua pendiri ormas Islam ini dahulunya adalah teman satu kamar di pondok pesantren Kiyai Sholeh Darat, sama-sama pernah berguru pada masyaikh Aswaja Syafi'iyah v sama di Mekkah dan merupakan sahabat karib yang saling menghormati dan menyayangi sepanjang hidup keduanya.
Walau seiring dengan waktu dan perkembangan zaman, penyikapan Muhammadiyah Luar ini semakin bijak dan melunak namun ketegangan serta perbedaan antara kedua ormas yang mewakili golongan medern dan tradisionalis ini seringkali masih muncul ke permukaan.
Dengan demikian berhasil lah Van Der Plas dengan gilang-gemilang memecah dan mengendalikan serta merubah haluan Muhammadiyah dari dalam seperti halnya juga SI yang berhasil dipecah belah menjadi SI Merah dan SI Putih.
Orientalis andalan Gubernemen Belanda disamping Snouck Hurgronje yang juga agen MI-6 ini memang sangat piawai memecah belah bangsa ini dari masa ke masa. Dan sebagai seorang orientalis tentunya dia juga mendalami bahasa dan budaya pribumi, Arab bahkan keilmuan Islam. Uniknya Van Der Plas belajar ilmu tafsir dan fiqih dari Syeikh Ahmad Surkati, pendiri al-Irsyad saat dia menjabat sebagai Ajun Advisor di sebuah kantor pemerintah kolonial Belanda (Kantoor voor Inlandsche Zaken) yaitu sebuah badan Gubernemen Hindia Belanda yang mengurusi urusan bahasa-bahasa asing dan timur jauh.
Di sinilah juga Syeikh Ahmad Surkati bekerja sebagai penasihat Van Der Plas sekaligus sebagai guru dan sahabatnya. Hal ini justru diungkapkan di sebuah buku yang ditulis oleh anak dari asisten pribadi serta murid Syeikh Ahmad Surkati yang bernama Hussein Badjerei putera dari Abdullah Aqil Badjerei. Hussein Badjerei ini adalah penulis resmi buku sejarah perkembangan al-Irsyad di Indonesia. Jadi datanya pastilah valid karena dia dapat langsung dari ayahnya dan orang dalam al-Irsyad sendiri.
Maka nyatalah sudah permainan spionase serta konspirasi agen MI-6 yang merupakan badan intelijen Inggris dan alat dari gerakan Zionis-Freemasonry/
Contohnya adalah Jenderal Van Heutz, mantan panglima perang pasukan Marsose yang meluluhlantakkan Aceh dan membunuhi para syuhada pembela Islam di bumi Serambi Mekkah tersebut.
Setelah sukses menaklukkan para pejuang Aceh atas bantuan riset Snouck Hurgronje, dia kemudian diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda sekaligus atasan langsung Van Der Plas. Tentunya sang grand master tak akan membiarkan raksasa muda Muhammadiyah menjadi lebih besar dan membahayakan kelangsungan kepentingan mereka bukan hanya di masa kolonial namun juga di masa-masa yang akan datang.
Dan sisi terkelam dari sebuah kisah gerakan tajdid yang digaungkan oleh tiga orang agen Freemasonry dari tanah para Fir'aun pun ternyata menggelar konspirasinya juga di bumi Jawadwipa.
Bersambung...
By : Jedagjedug Keun Katembok
Source Facebook
Waahhh..tulisan yg cukup menambah wawasan baru, khususnya "Muhammadiyah yang NU" di atas...hehehe...Jadi alirannya apa? "Saya NU Persis Muhammadiyah"...hahahaha
BalasHapusLebih baik pakai rujukan data/buku untuk memperkuat opini2 di atas...oya, Salafi-Wahabi bukan untuk dibenci tapi disuruh taubat aja..wkwkwk
Allahumma sholli 'ala sayyidina Muhammad...
Tetap teguh dg Aqidah Ahlussunnah Waljama'ah dan bermadzhab As-Syafiiyah...
Salam
Alhamdulillah, saya "NU like Muhammadiyah"
HapusSebetulnya saya sepakat dengan usul sampean perihal penggunaan literatur yg semestinya berpijak kepada buku2, namun apalah daya, sampai sejauh ini, buku adalah "sesuatu" yg masih belum maksimal terjangkau di dunia saya.....
Allohumma sholli wasallim alaiyh.......
Aamiin......, mari saling mendo'akan
oiya.....
BalasHapusTerimakasih Visitasi dan saran saudara,
Salam "Assalamu 'alaikum....