Tulisan Al Quran Adalah Makhluq

" Al - Quran Yang Ditulis Manusia dan diproduksi oleh Industri Percetakan Adalah Makhluq, Al Qur'an Yang Menjadi Wahyu Bukan Makhluq "
-------------------------------------------------

” (QS Fusshilat [41]:3), tersusun dari huruf-huruf, serta berupa suara saat dibaca maka tentulah huruf, suara maupun bahasa adalah makhluk (ciptaan Allah).

"Bacaan Al-Qur’an" yakni lafazh-lafazh yang diturunkan (al-Lafzh al-Munazzal), yang ditulis dengan tinta di antara lebaran-lembaran kertas (al-Maktub Bain al-Masha-hif), yang dibaca dengan lisan (al-Maqru’ Bi al-Lisan), dan dihafalkan di dalam hati (al-Mahfuzh Fi ash-Shudur) dalam bahasa Arab, tersusun dari huruf-huruf, serta berupa suara saat dibaca adalah makhluk (ciptaan Allah)

Kesimpulannya "Bacaan Al-Qur’an" dalam pengertian al-Lafzh al-Munazzal maka ia adalah makhluk (ciptaan Allah)

Bacaan Al Qur’an (al-Lafzh al-Munazzal) adalah IBARAH atau UNGKAPAN dari pada sifat kalam Allah yang kekal (Kalam Allah al-Dzati) yang bukan suara, bukan huruf-huruf, dan bukan bahasa SUPAYA bisa dibaca, diucapkan dan dipahami oleh ciptaanNya.

Para ulama terdahulu mengatakan bahwa “Al Qur’an bukan makhluk” atau “Al Qur’an dalam pengertian kalam Allah bukan makhluk” adalah mengacu pada sifat kalam Allah yang kekal (Kalam Allah ad-Dzati) yang bukan huruf, bukan suara dan bukan bahasa.
Sifat kalam Allah yang kekal (Kalam Allah ad-Dzati) adalah qadim, tanpa permulaan dan tanpa penghabisan serta tidak menyerupai sifat kalam yang ada pada makhluk.

Sifat kalam pada makhluk berupa huruf-huruf, suara dan bahasa.

Imam Abu Hanifah (150 H) mengatakan “Kami berbicara dengan alat dan huruf sedangkan Allah Ta’ala berbicara tanpa alat dan huruf, sedangkan huruf itu makhluk dan kalamullah bukanlah makhluk “. (Disebutkan dalam kitab al-Fiqh al-Akbar,al-Washiyyah, al-Alim w al-Muta’allim dan lainnya)

Al-Imam al-Isfiraini (w 418 H) mengatakan : “Dan hendaknya kamu mengetahui bahwa sesungguhnya kalam Allah itu tidaklah dengan huruf dan suara karena huruf dan suara mengandung bolehnya pendahuluan dan pengakhiran, yang demikian itu mustahil bagi Allah yang Maha Qadim “. (at-Tafsir fiddin : 102)

Imam Al-Qurthubi mengatakan : “ Fasal. Hadits “ Maka diserukan dengan suara “, dijadikan hujjah oleh orang yang berkata Allah berbicara dengan huruf dan suara, sungguh Maha Suci Allah sesuci-sucinya dari apa yang diucapkan kaum mujassimah dan pengingkar, sesungguhnya nida (seruan) yang dinisbatkan kepada Allah diartikan seruan sebagian malaikat muqarrabin Allah dengan izin dan perintah-Nya “. (at-Tadzkirah fi Ahwal al-Mauta wa Umur al-Akhirah : 338)

Oleh sebab itu kita tidak percaya bahwa kalam Allah ada permulaannya, atau kalamNya itu adalah suatu tindakan seperti pembicaraan kita, karena dengan hal itu berarti Allah butuh kepada selainNya untuk menciptakan kalamNya supaya menjadi sempurna.

Suatu ketidaksempurnaan jika kalamNya untuk mengungkapkan apa yang diketahuiNya itu berupa serial (kata-kata berurutan, perkataan satu demi satu, atau perkataan dengan huruf atau suara), karena kalam yang terdiri dari ekspresi serial itu pasti memiliki awal dan akan ada penundaan (dimensi waktu) dalam menginformasikan semua yang diketahuiNya.

Contoh dalam “Bismillah”, misalnya “i” ada setelah datang “b”, sehingga ketika anda mengatakan Bismillah, suara “i” hanya menjadi ada setelah ketidak adaan “b”
Pada hakikatnya kita tidak boleh mengimani sifat Allah yang dipengaruhi atau dibatasi oleh ciptaanNya seperti dimensi ruang dan waktu.

Allah Azza wa Jalla dengan sifat kalamNya tidak membutuhkan atau tidak dipengaruhi atau dibatasi kepada ciptaanNya seperti dimensi ruang dan waktu.
Kalam yang terdiri dari suara dan huruf adalah kalam ciptaan, karena alasan ini seseorang tidak boleh mengatakan bahwa sifat kalam Allah yang kekal adalah huruf dan suara, karena Allah berfirman yang artinya: “tidak ada sesuatu yang menyerupai Dia” (QS Asy Syuura [53]:11)

Al-Imam al-Mutakallim Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi dalam kitab Najm al-Muhtadi Wa Rajm al-Mu’tadi menuliskan sebagai berikut:

“Asy-Syaikh al-Imam Abu Ali al-Hasan ibn Atha’ pada tahun 481 H ketika ditanya sebuah permasalahan berkata: Sesungguhnya huruf-huruf itu dalam penggunaannya saling mendahuli satu atas lainnya. Pergantian saling mandahului antara huruf seperti ini tidak dapat diterima oleh akal jika terjadi pada Allah yang maha Qadim. Sebab pengertian bahwa Allah maha Qadim adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan, sementara pergantian huruf-huruf dan suara adalah sesuatu yang baharu (huduts) yang memiliki permulaan; tidak Qadim.

Kemudian seluruh sifat-sifat Allah itu Qadim; tanpa permulaan, termasuk sifat Kalam-Nya. Seandainya Kalam Allah tersebut berupa huruf-huruf dan suara maka berarti pada kalam-Nya tersebut terjadi pergantian antara satu huruf dengan lainnya, antara satu suara dengan suara lainnya, dan bila demikian maka Dia akan disibukan oleh perkara tersebut. Padahal Allah tidak disibukan oleh satu perkara atas perkara yang lain.
Dengan demikian harus dibedakan antara bacaan Al Qur’an (al-Lafzh al-Munazzal) dan Sifat kalam Allah yang kekal (al-Kalam adz-Dzati). Sebab apa bila tidak dibedakan antara dua perkara ini, maka setiap orang yang mendengar bacaan al-Qur’an akan mendapatkan gelar “Kalimullah” sebagaimana Nabi Musa alaihi salam yang telah mendapat gelar “Kalimullah”.

Tentu hal ini menjadi rancu dan tidak dapat diterima. Padahal, Nabi Musa mendapat gelar “Kalimullah” adalah karena beliau pernah mendengar dan memahami al-Kalam adz-Dzati yang bukan berupa huruf, bukan suara dan bukan bahasa.

Seandainya setiap orang yang mendengar bacaan al-Qur’an mendapat gelar “Kalimullah” seperti gelar Nabi Musa alaihi salam maka berarti tidak ada keistimewaan sama sekali bagi Nabi Musa alaihi salam yang telah mendapatkan gelar “Kalimullah” tersebut.

Dalam al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Dan apa bila seseorang dari orang-orang musyrik meminta perlidungan darimu (wahai Muhammad) maka lindungilah ia hingga ia mendengar Kalam Allah”. (QS. at-Taubah: 6).

Dalam ayat ini Allah memerintahkan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam untuk memberikan perlidungan kepada seorang kafir musyrik yang diburu oleh kaumnya, jika memang orang musyrik ini meminta perlindungan darinya. Artinya, Orang musyrik ini diberi keamanan untuk hidup di kalangan orang-orang Islam hingga ia mendengar Kalam Allah. Setelah orang musyrik tersebut diberi keamanan dan mendengar Kalam Allah, namun ternyata ia tidak mau masuk Islam, maka ia dikembalikan ke wilayah tempat tinggalnya.
Dalam ayat ini, yang dimaksud bahwa orang musyrik tersebut “mendengar Kalam Allah” adalah mendengar bacaan kitab al-Qur’an yang berupa lafazh-lafazh dalam bentuk bahasa Arab (al-Lafzh al-Munazzal), bukan dalam pengertian mendengar al-Kalam adz-Dzati. Sebab jika yang dimaksud mendengar al-Kalam adz-Dzati maka berarti sama saja antara orang musyrik tersebut dengan Nabi Musa yang telah mendapatkan gelar “Kalimullah”. Dan bila demikian maka berarti orang musyrik tersebut juga mendapatkan gelar “Kalimullah”, persis seperti Nabi Musa. Tentunya hal ini tidak bisa dibenarkan.

Begitupula firman Allah: “Kun Fayakun” (QS. Yasin: 82).
Dalam al-Qur’an Allah berfirman: “Inama Amruhu Idza Arada Sya’ian An Yaqula Lahu Kun Fayakun” (QS. Yasin: 82).

Makna ayat ini bukan berarti bahwa setiap Allah berkehendak menciptakan sesuatu, maka dia berkata: “Kun”, dengan huruf “Kaf” dan “Nun” yang artinya “Jadilah…!”.

Karena seandainya setiap berkehendak menciptakan sesuatu Allah harus berkata “Kun”, maka dalam setiap saat perbuatan-Nya tidak ada yang lain kecuali hanya berkata-kata: “kun, kun, kun…”.

Hal ini tentu mustahil atas Allah. Karena sesungguhnya dalam waktu yang sesaat saja bagi kita, Allah maha Kuasa untuk menciptakan segala sesuatu yang tidak terhitung jumlanya.

Deburan ombak di lautan, rontoknya dedaunan, tetesan air hujan, tumbuhnya tunas-tunas, kelahiran bayi manusia, kelahiran anak hewan dari induknya, letusan gunung, sakitnya manusia dan kematiannya, serta berbagai peristiwa lainnya, semua itu adalah hal-hal yang telah dikehendaki Allah dan merupakan ciptaan-Nya. Semua perkara tersebut bagi kita terjadi dalam hitungan yang sangat singkat, bisa terjadi secara beruntun bahkan bersamaan.

Adapun sifat perbuatan Allah sendiri (Shifat al-Fi’il) tidak terikat oleh waktu. Allah menciptakan segala sesuatu, sifat perbuatan-Nya atau sifat menciptakan-Nya tersebut tidak boleh dikatakan “di masa lampau”, “di masa sekarang”, atau “di masa mendatang”. Sebab perbuatan Allah itu azali, tidak seperti perbuatan makhluk yang baharu.

Perbuatan Allah tidak terikat oleh waktu, dan tidak dengan mempergunakan alat-alat. Benar, segala kejadian yang terjadi pada alam ini semuanya baharu, semuanya diciptakan oleh Allah, namun sifat perbuatan Allah atau sifat menciptakan Allah (Shifat al-Fi’il) tidak boleh dikatakan baharu.

Kemudian dari pada itu, kata “Kun” adalah bahasa Arab yang merupakan ciptaan Allah (al-Makhluk). Sedangkan Allah adalah Pencipta (Khaliq) bagi segala bahasa. Maka bagaimana mungkin Allah sebagai al-Khaliq membutuhkan kepada ciptaan-Nya sendiri (al-Makhluq)?!

Seandainya Kalam Allah merupakan bahasa, tersusun dari huruf-huruf, dan merupakan suara, maka berarti sebelum Allah menciptakan bahasa Dia diam; tidak memiliki sifat Kalam, dan Allah baru memiliki sifat Kalam setelah Dia menciptakan bahasa-bahasa tersebut. Bila seperti ini maka berarti Allah baharu, persis seperti makhluk-Nya, karena Dia berubah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain. Tentu hal seperti ini mustahil atas Allah.

Dengan demikian makna yang benar dari ayat dalam QS. Yasin: 82 diatas adalah sebagai ungkapan bahwa Allah maha Kuasa untuk menciptakan segala sesuatu tanpa lelah, tanpa kesulitan, dan tanpa ada siapapun yang dapat menghalangi-Nya. Dengan kata lain, bahwa bagi Allah sangat mudah untuk menciptakan segala sesuatu yang Ia kehendaki, sesuatu tersebut dengan cepat akan terjadi, tanpa ada penundaan sedikitpun dari waktu yang Ia kehendakinya.

Begitupula pada hari kiamat kelak, Allah akan menghisab seluruh hamba-Nya dari bangsa manusia dan jin.
Allah akan memperdengarkan Kalam-Nya kepada setiap orang dari mereka.

Mereka akan memahami dari kalam Allah tersebut pertanyaan-pertanyaan tentang segala apa yang telah mereka kerjakan, segala apa yang mereka katakan, dan segala apa yang mereka yakini ketika mereka hidup di dunia.

Mereka akan memahami dari kalam Allah yang bukan huruf dan suara sehingga tidak diperlukan penterjemah
Rasulullah bersabda: “Setiap orang akan Allah perdengarkan Kalam-Nya kepadanya (menghisabnya) pada hari kiamat, tidak ada penterjemah antara dia dengan Allah”. (HR. al-Bukhari)

Mereka akan memahami dari kalam Allah yang bukan huruf dan suara, tanpa penterjemah, dan yang tidak dipengaruhi dimensi ruang dan waktu.

Allah Azza wa Jalla akan menghisab seluruh hamba-Nya dalam waktu yang sangat singkat sebagaimana firmanNya yang artinya “dan Dia Allah yang menghisab paling cepat (QS Al An’am [6]:62]

Seandainya Allah menghisab mereka dengan suara, susunan huruf, dan dengan bahasa, maka Allah akan membutuhkan waktu beratus-ratus ribu tahun untuk menyelesaikan hisab tersebut, karena makhluk Allah sangat banyak.

Jelaslah seandainya Kalam Allah berupa suara, huruf, dan bahasa maka dalam menghisab semua makhluk tersebut Allah akan membutuhkan kepada waktu yang sangat panjang. Karena dalam penggunaan huruf-huruf dan bahasa jelas membutuhkan kepada waktu.

Huruf berganti huruf, kemudian kata menyusul kata, dan demikian seterusnya. Dan bila demikian maka maka berarti Allah bukan sebagai Asra’ al-Hasibin (Penghisab yang paling cepat), tapi sebaliknya; Abtha’ al-Hasibin (Penghisab yang paling lambat). Tentunya hal ini mustahil bagi Allah.

Wassalam

Penulis : Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Link Status FB :
https://www.facebook.com/groups/piss.ktb/permalink/3160054690683984/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara-cara Memperkosa yang Baik

Nashiruddin Al Albani ( Kesalahan - Kecacatan - Arogansi - Kelemahan )

Salafi WAHABI IBNU ABI AL TAKFIRI