DIALOG TERBUKA ANTARA AHLUSSUNNAH VS SALAFI WAHABI
Perbedaan NU Vs Wahbabi |
DIALOG TERBUKA ANTARA AHLUSSUNNAH VS SALAFI WAHABI
Pada
tahun 2009, saya pernah terlibat perdebatan sengit dengan seorang
Ustadz Salafi berinisial AH di Surabaya. Beberapa bulan berikutnya saya
berdebat lagi dengan Ustadz Salafi di Blitar. Ustadz tersebut berinisial
AH pula, tetapi lain orang. Dalam perdebatan tersebut saya bertanya
kepada AH: “Mengapa Anda meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di
langit?”
Menanggapi pertanyaan saya, AH menyebutkan
ayat-ayat al-Qur’an yang menurut asumsinya menunjukkan bahwa Allah
subhanahu wa ta‘ala ada di langit. Lalu saya berkata: “Ayat-ayat yang
Anda sebutkan tidak secara tegas menunjukkan bahwa Allah ada di langit.
Karena kosa kata istawa, menurut para ulama memiliki 15 makna. Di
samping itu, apabila Anda berargumentasi dengan ayat-ayat tersebut, maka
argumen Anda dapat dipatahkan dengan ayat-ayat lain yang menunjukkan
bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di langit. Misalnya Allah
subhanahu wa ta‘ala berfirman: “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu
berada.” (QS. al-Hadid : 4). Ayat ini menegaskan bahwa Allah subhanahu
wa ta‘ala bersama kita di bumi, bukan ada di langit. Dalam ayat lain
Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman:
وَقَالَ إِنِّيْ ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّيْ سَيَهْدِيْنِ. (الصافات : ٩٩).
“Dan Ibrahim berkata, “Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku (Palestina), yang akan memberiku petunjuk.” (QS. al-Shaffat : 99).
Dalam
ayat ini, Nabi Ibrahim alaihissalam berkata akan pergi menuju Tuhannya,
padahal Nabi Ibrahim alaihissalam pergi ke Palestina. Dengan demikian,
secara literal ayat ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala
bukan ada di langit, tetapi ada di Palestina.” Setelah saya berkata
demikian, AH tidak mampu menjawab akan tetapi mengajukan dalil lain dan
berkata: “Keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit telah
dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits
shahih:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى
الله عليه وسلم لِلْجَارِيَةِ السَّوْدَاءِ: أَيْنَ اللهُ؟ قَالَتْ: فِي
السَّمَاءِ. قَالَ مَنْ أَنَا؟ قَالَتْ: رَسُوْلُ اللهِ. قَالَ أَعْتِقْهَا
فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ. رواه مسلم.
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bertanya kepada seorang budak perempuan yang berkulit
hitam: “Allah ada di mana?” Lalu budak itu menjawab: “Allah ada di
langit.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya; “Saya siapa?” Ia
menjawab: “Engkau Rasul Allah.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata kepada majikan budak itu, “Merdekakanlah budak ini. Karena ia
seorang budak yang mukmin.” (HR. Muslim).”
Setelah AH
berkata demikian, saya menjawab begini: “Ada tiga tinjauan berkaitan
dengan hadits yang Anda sebutkan. Pertama, dari aspek kritisisme ilmu
hadits (naqd al-hadits). Hadits yang Anda sebutkan menurut para ulama
tergolong hadits mudhtharib (hadits yang simpang siur periwayatannya),
sehingga kedudukannya menjadi lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah.
Kesimpangsiuran periwayatan hadits tersebut, dapat dilihat dari
perbedaan setiap perawi dalam meriwayatkan hadits tersebut. Ada yang
meriwayatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bertanya di mana
Allah subhanahu wa ta‘ala. Akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bertanya, apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
bahwa Muhammad utusan Allah.
Kedua, dari segi makna, para
ulama melakukan ta’wil terhadap hadits tersebut dengan mengatakan,
bahwa yang ditanyakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebenarnya
adalah bukan tempat, tetapi kedudukan atau derajat Allah subhanahu wa
ta‘ala. Lalu orang tersebut menjawab kedudukan Allah subhanahu wa ta‘ala
ada di langit, maksudnya Allah subhanahu wa ta‘ala itu Maha Luhur dan
Maha Tinggi.
Ketiga, apabila Anda berargumen dengan hadits
tersebut tentang keyakinan Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit,
maka argumen Anda dapat dipatahkan dengan hadits lain yang lebih kuat
dan menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di langit,
bahkan ada di bumi. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ
أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم رَأَى نُخَامَةً فِي
الْقِبْلَةِ فَحَكَّهَا بِيَدِهِ وَرُؤِيَ مِنْهُ كَرَاهِيَةٌ وَقَالَ:
إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِيْ صَلاَتهِ فَإِنَّمَا يُنَاجِيْ رَبَّهُ
أَوْ رَبَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قِبْلَتِهِ فَلاَ يَبْزُقَنَّ فِيْ
قِبْلَتِهِ وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ. رَوَاهُ
الْبُخَارِيُّ.
“Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat dahak di arah kiblat,
lalu beliau menggosoknya dengan tangannya, dan beliau kelihatannya
tidak menyukai hal itu. Lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya apabila
salah seorang kalian berdiri dalam shalat, maka ia sesungguhnya
berbincang-bincang dengan Tuhannya, atau Tuhannya ada di antara dirinya
dan kiblatnya. Oleh karena itu, janganlah ia meludah ke arah kiblatnya,
akan tetapi meludahlah ke arah kiri atau di bawah telapak kakinya.” (HR.
al-Bukhari [405]).
Hadits ini menegaskan bahwa Allah
subhanahu wa ta‘ala ada di depan orang yang sedang shalat, bukan ada di
langit. Hadits ini jelas lebih kuat dari hadits riwayat Muslim, karena
hadits ini riwayat al-Bukhari. Setelah saya menjawab demikian, AH juga
tidak mampu menanggapi jawaban saya. Sepertinya dia merasa kewalahan dan
tidak mampu menjawab. Ia justru mengajukan dalil lain dengan berkata:
“Keyakinan bahwa Allah ada di langit itu ijma’ ulama salaf.” Lalu saya
jawab, “Tadi Anda mengatakan bahwa dalil keyakinan Allah ada di langit,
adalah ayat al-Qur’an. Kemudian setelah argumen Anda kami patahkan, Anda
beragumen dengan hadits. Lalu setelah argumen Anda kami patahkan lagi,
Anda sekarang berdalil dengan ijma’. Padahal ijma’ ulama salaf sejak
generasi sahabat justru meyakini Allah subhanahu wa ta‘ala tidak
bertempat. Al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi berkata dalam al-Farqu Bayna
al-Firaq:
وَأَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّهُ لاَ يَحْوِيْهِ مَكَانٌ وَلاَ يَجْرِيْ عَلَيْهِ زَمَانٌ
“Kaum
Muslimin sejak generasi salaf (para sahabat dan tabi’in) telah
bersepakat bahwa Allah tidak bertempat dan tidak dilalui oleh waktu.”
(al-Farq bayna al-Firaq, 256).
Al-Imam Abu Ja’far
al-Thahawi juga berkata dalam al-’Aqidah al-Thahawiyyah, risalah kecil
yang menjadi kajian kaum Sunni dan Wahhabi:
وَلاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِتُّ.
“Allah subhanahu wa ta‘ala tidak dibatasi oleh arah yang enam.”
Setelah
saya menjawab demikian kepada AH, saya bertanya kepada AH: “Menurut
Anda, tempat itu makhluk apa bukan?” AH menjawab: “Makhluk.” Saya
bertanya: “Kalau tempat itu makhluk, lalu sebelum terciptanya tempat,
Allah ada di mana?” AH menjawab: “Pertanyaan ini tidak boleh, dan
termasuk pertanyaan yang bid’ah.” Demikian jawaban AH, yang menimbulkan
tawa para hadirin dari semua kalangan pada waktu itu. Kebetulan pada
acara tersebut, mayoritas hadirin terdiri dari kalangan Salafi, anggota
jamaah AH.
Demikianlah, cara dialog orang-orang Wahhabi.
Ketika mereka tidak dapat menjawab pertanyaan, mereka tidak akan
menjawab, aku tidak tahu, sebagaimana tradisi ulama salaf dulu. Akan
tetapi mereka akan menjawab, “Pertanyaanmu bid’ah dan tidak boleh.” AH
sepertinya tidak mengetahui bahwa pertanyaan Allah subhanahu wa ta‘ala
ada di mana sebelum terciptanyan alam, telah ditanyakan oleh para
sahabat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak berkata kepada mereka, bahwa pertanyaan tersebut
bid’ah atau tidak boleh. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam
Shahih-nya:
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ
حُصَيْنٍ قَالَ إِنِّيْ عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم إِذْ دَخَلَ
نَاسٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ فَقَالُوْا: جِئْنَاكَ لِنَتَفَقَّهَ فِي
الدِّيْنِ وَلِنَسْأَلَكَ عَنْ أَوَّلِ هَذَا اْلأَمْرِ مَا كَانَ. قَالَ:
كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ. (رواه البخاري).
“Imran
bin Hushain radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berada bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang sekelompok dari penduduk
Yaman dan berkata: “Kami datang untuk belajar agama dan menanyakan
tentang permulaan yang ada ini, bagaimana sesungguhnya?” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah telah ada dan tidak ada
sesuatu apapun selain Allah.” (HR. al-Bukhari [3191]).
Hadits
ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat. Allah
subhanahu wa ta‘ala ada sebelum adanya makhluk, termasuk tempat. Al-Imam
al-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang hasan dalam al-Sunan berikut
ini:
عَنْ أَبِيْ رَزِيْنٍ قَالَ
قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيْنَ كَانَ رَبُّنَا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ
خَلْقَهُ ؟ قَالَ كَانَ فِيْ عَمَاءٍ مَا تَحْتَهُ هَوَاءٌ وَمَا فَوْقَهُ
هَوَاءٌ وَخَلَقَ عَرْشَهُ عَلىَ الْمَاءِ قَالَ أَحْمَدُ بْنُ مَنِيْعٍ
قَالَ يَزِيْدُ بْنُ هَارُوْنَ الْعَمَاءُ أَيْ لَيْسَ مَعَهُ شَيْءٌ قَالَ
التِّرْمِذِيُّ وَهَذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ.
“Abi Razin
radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, di manakah
Tuhan kita sebelum menciptakan makhluk-Nya?” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah ada tanpa sesuatu apapun yang
menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada
sesuatu. Lalu Allah menciptakan Arasy di atas air.” Ahmad bin Mani’
berkata, bahwa Yazid bin Harun berkata, maksud hadits tersebut, Allah
ada tanpa sesuatu apapun yang menyertai (termasuk tempat). Al-Tirmidzi
berkata: “hadits ini bernilai hasan”. (Sunan al-Tirmidzi, [3109]).
Dalam
setiap dialog yang terjadi antara Muslim Sunni dengan kaum Wahhabi,
pasti kaum Sunni mudah sekali mematahkan argumen Wahhabi. Ketika Wahhabi
mengajukan argumen dari ayat al-Qur’an, maka dengan mudahnya dipatahkan
dengan ayat al-Qur’an yang lain. Ketika Wahhabi mengajukan argumen
dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pasti kaum Sunni
dengan mudahnya mematahkan argumen tersebut dengan hadits yang lebih
kuat. Dan ketika Sunni berargumen dengan dalil rasional, pasti Wahhabi
tidak dapat membantah dan menjawabnya. Keyakinan bahwa Allah subhanahu
wa ta‘ala ada tanpa tempat adalah keyakinan kaum Muslimin sejak generasi
salaf, kalangan sahabat dan tabi’in. Sayyidina Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu berkata:
كَانَ اللهُ وَلاَ مَكَانَ وَهُوَ اْلآَنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَانَ
“Allah
subhanahu wa ta‘ala ada sebelum adanya tempat. Dan keberadaan Allah
sekarang, sama seperti sebelum adanya tempat (maksudnya Allah tidak
bertempat).” (al-Farq bayna al-Firaq, 256).
Dari “Buku Pintar Berdebat dengan Wahhabi” karya Ust. Muhammad Idrus Ramli, alumni Pondok Pesantren Sidogiri tahun 1424/2004.
Sumbernya :
Copas Dari Sini
Komentar
Posting Komentar